Wednesday, December 10, 2008

Poligami

Hikmah Poligami:
1. Sensus menunjukkan, bahwa jumlah yang melahirkan anak perempuan lebih banyak daripada jumlah yang melahirkan anak laki-laki, dan jumlah laki-laki yang meninggal lebih banyak daripada jumlah wanita yang meninggal.

2. Kaum wanita mengalami haid, hamil, dan melahirkan serta mengalami nifas dalam kurun waktu yang lama. Jika seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, maka ia akan menemukan apa yang bisa memelihara kesucian kemaluannya sehingga tidak terjerumus ke dalam yang haram.

3. Jika poligami tidak diperbolehkan, maka akan banyak wanita yang tidak bersuami. Dengan begitu hilanglah kesenangan dari mereka, terlewatlah peluang untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara sesuai dengan kehormatan dan kemuliaannya.

Hendaknya kita berkeyakinan, bahwa poligami adalah ketetapan hukum dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tidak boleh mempertanyakan apa yang dilakukan-Nya, sedangkan manusia dipertanyakan apa yang dilakukannya.


Apakah disyaratkan adanya kerelaan istri pertama untuk pologami?
Bila seorang suami hendak menikah lagi dengan wanita lain, tidak diwajibkan atasnya untuk mendapatkan kerelaan dari istri pertamanya. Tapi sebagai bentuk kemuliaan akhlak dan baiknya perlakuan, hendaknya menjaga perasaannya, yaitu dengan tetap bersikap ramah dan baik saat bersama, ada baiknya juga dengan memberikan harta bila kerelaan perlu dengan itu. (Al-Lajnah ad-Da'imah)


Bersikap adil terhadap para istri:
Yaitu dalam hal giliran dan nafkah. Adapun dalam hal kecintaan dan persetubuhan serta yang sejenisnya, maka ini tidak mungkin. (syaikh Ibnu Baz)


Jatah giliran harus tetap dipenuhi untuk istri yang sedang haid dan yang sedang nifas, karena mereka juga istri. (madzhab Hambali)


Jika seseorang menikah lagi dengan gadis perawan, maka ia tetap tinggal bersamanya selama sepekan, kemudian membagi giliran. Jika yang baru dinikahinya itu wanita janda, maka tinggal bersama selama tiga hari.

Mendatangi istri pada saat yang bukan malam gilirannya:
yang benar adalah: Kembali kepada kebiasaan waktu dan tradisi (yang berlaku di masyarakatnya). Jika datangnya suami pada istrinya pada saat yang bukan gilirannya, baik malam maupun siang hari, tidak dianggap orang-orang sebagai kecurangan atau kezhaliman, maka berpatokan kepada kebiasaan adalah dasar yang besar dalam masalah-masalah yang tidak ada dalilnya. (Syaikh as-Sa'id)

Jika seorang istri merelakan waktu gilirannya kepada madunya atau menyerahkan kepada suaminya: Ini boleh, karena giliran itu adalah haknya. Jika si istri tersebut menarik kembali haknya, maka suami wajib membagi lagi giliran untuknya di belakang hari. (Al-Lajnah ad-Da'imah)


Suami tidak boleh mengkhususkan salah seorang istrinya dengan pemberian tanpa istri-istri lainnya tanpa sebab yang dibenarkan oleh syariat. Maka, memberikan upah kepada istri yang membantu pekerjaannya sebagai imbalan bantuannya, ini tidak apa-apa. (Al-Lajnah ad-Da'imah)



Jika suami hendak bepergian dengan salah seorang istrinya, maka ia harus mengundi:
Yang keluar namanya dari hasil undian itu, maka ia pergi dengannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi S'AW. Dan tidak mengqadha giliran istri-istri lainnya yang terlewati karena kepergian tersebut, tapi giliran itu kembali berlaku setelah ia kembali. Bepergian untuk melaksanakan haji atau umrah adalah seperti halnya bepergian untuk keperluan lainnya, yaitu harus dengan diundi. (Al-Lajnah ad-Da'imah)


No comments: